Saya tidak mengerti kenapa harus memposting artikel ini. Tapi saya rasa, istilah ini (khitbah) merupakan istilah baru buat saya. Mungkin teman-teman yang sedang membaca blog ini juga baru mendengar. Terlambat atau tidak, setidaknya kita masih diberi kesempatan untuk belajar. Belajar apapun!
For those who gave me this term, thank you. #imhereandalways
For those who gave me this term, thank you. #imhereandalways
***
Abdullah Ibnu Mas’ud Radhiallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.”
Istilah tunangan tidak dikenal dalam istilah syariah. Tapi kalau mau dicarikan bentuk yang paling mendekatinya, barangkali yang paling mendekati adalah “khitbah”, yang artinya meminang/melamar.
Menurut istilah, makna khitbah atau lamaran adalah sebuah permintaan atau pernyataan dari laki-laki kepada pihak perempuan untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun dengan perantara pihak lain yang dipercayai sesuai dengan ketentuan agama. Intinya mengajak untuk berumah tangga. Khitbah itu sendiri masih harus dijawab “ya” atau “tidak”. Bila telah dijawab “ya”, maka jadilah wanita tersebut sebagai ‘makhthubah’, atau wanita yang telah resmi dilamar.
Secara hukum dia tidak diperkenankan untuk menerima lamaran dari orang lain. Namun hubungan kedua calon itu sendiri tetap sebagai orang asing yang diharamkan berduaan, berkhalwat atau hal-hal yang sejenisnya.
Dalam Islam tidak dikenal istilah setengah halal lantaran sudah dikhitbah. Dan amat besar kesalahan kita ketika menyaksikan pemandangan pasangan yang sudah bertunangan atau sudah berkhitbah, lalu beranggapan bahwa mereka sudah halal melakukan hal-hal layaknya suami istri di depan mata, lantas diam dan membiarkan saja. Apalagi sampai mengatakan, “Ah biar saja, toh mereka sudah bertunangan, kalo terjadi apa-apa, sudah jelas siapa yang harus bertanggung-jawab.” Padahal dalam kaca mata syariah, semua itu tetap terlarang untuk dilakukan, bahkan meski sudah bertunangan atau sudah melamar, hingga sampai selesainya akad nikah. Dan hanya masyarakat yang sakit saja yang tega bersikap permisif seperti itu. Padahal apapun yang dilakukan oleh sepasang tunangan, bila tanpa ada ditemani oleh mahram, maka hal itu tidak lain adalah kemungkaran yang nyata. Haram hukumnya hanya mendiamkan saja, apalagi malah memberi semangat kepada keduanya untuk melakukan hal-hal yang telah diharamkan Allah.
Orang melamar atau menghkhitbah hendaknya merahasiakan pelamarannya atau tidak mengumumkan ke orang banyak. Dari Ummu Salamah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Kumandangkanlah pernikahan dan rahasiakanlah peminangan”.
Secara syar’i tidak masalah jika wanita melamar laki-laki
Secara syar’i tidak masalah jika wanita melamar laki-laki
”Dari Tsabit, ia berkata, ”Kami duduk bersama dengan Anas bin Malik yang disebelahnya ada seorang anak perempuannya. Lalu Anas berkata, ”datanglah seorang perempuan kepada Nabi SAW, lalu ia menawarkan dirinya kepada beliau, kemudian perempuan itu berkata, ”Wahai Rasulullah maukah tuan mengambil diriku? Kemudian anak perempuan Anas menyeletuk, ”Betapa tidak malunya perempu itu!” Lalu Anas menjawab, ”Perempuan itu lebih baik daripada kamu”. Ia menginginkan rasulullah, karena itu ia menawarkan dirinya kepada beliau”. (HR. Ibnu Majah).
Hal ini menunjukkan betapa hukum Islam sangat menjunjung tinggi hak wanita. Mereka tidak hanya berhak dilamar tetapi juga memiliki hak untuk melamar lelaki yang disukainya.
Beberapa Perkara Penting Sebelum Pelamaran
Sebelum melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa perkara berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain berguna untuk melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.
Berikut penyebutan perkara-perkara tersebut:
- Mengetahui dan melihat sang calon (perempuan).
Ini bukan kewajiban, tapi disarankan agar tidak terjadi fitnah atau kasus di kemudian hari.
Melihat yang dimaksudkan disini adalah melihat diri wanita yang ingin dinikahi dengan tetap berpanutan pada aturan syar’i. ”Dari Anas bin Malik, ia berkata,”Mughirah bin Syu’bah berkeinginan untuk menikahi seorang perempuan. Lalu rasulullah Saw. Bersabda, ”Pergilah untuk melihat perempuan itu karena dengan melihat itu akan memberikan jalan untuk dapat lebih membina kerukunan antara kamu berdua”. Lalu ia melihatnya, kemudian menikahi perempuan itu dan ia menceritakan kerukunannya dengan perempuan itu. (HR. Ibnu Majah: dishohihkan oleh Ibnu Hibban, dan beberap hadits sejenis juga ada misalnya diriwayatkan Oleh Tirmidzi dan Imam Nasai.)
- Sang calon tidak dalam proses dilamar laki-laki lain.
Dari Abu Hurairah, Ia berkata,”Rasululloh SAW bersabda,”Seorang lelaki tidak boleh meminang perempuan yang telah dipinang saudaranya” (HR. Ibnu Majah).
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Dari Uqbah bin ‘Amir r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Orang mu’min itu adalah saudaranya orang mu’min, maka tidak halallah kalau ia menjual atas jualan saudaranya itu dan jangan pula melamar atas lamaran saudaranya, sehingga saudaranya ini meninggalkan lamarannya -misalnya mengurungkan atau memberinya izin-.” (Riwayat Muslim).
Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar jika pelamar pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah, wallahu A’lam.
Oleh karenanya, ada baiknya pihak laki-laki mencari dan mengumpulkan informasi mengenai hal ini. Jika sang calon ternyata sedang pacaran dengan laki-laki lain, bagaimana? pacaran BUKAN lamaran, tidak ada keterikatan secara hukum (agama), maka sah-sah saja jika ada laki-laki lain yang melamar. Malah lebih baik sang perempuan memprioritaskan dan menyetujui lamaran laki-laki lain, daripada pacaran sekian lama tapi tidak jelas arahnya. Tentu saja, sang perempuan juga mesti mengumpulkan informasi mengenai laki-laki yang melamarnya.
- Sang perempuan boleh menolak/memilih yang melamarnya.
Sang perempuan mempunyai hak untuk memilih (menyetujui/menolak) laki-laki yang melamarnya. Hendaknya pada saat melamar, sang perempuan ditanya dan ditunggu jawabannya. Dengan demikian, tidak terjadi pemaksaan dalam proses lamaran.
Mari simak hadits berikut Rasulullah SAW bersabda, “Janda lebih berhak atas dirinya dibanding walinya. Sedangkan gadis dimintai izin tentang urusan dirinya.Izinnya adalah diamnya. “(Mutaffaqun alaih).
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Seorang wanita janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pertimbangan dan seorang gadis perawan tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana tanda setujunya? Rasulullah saw. menjawab: Bila ia diam. (Shahih Muslim)
- Tidak melamar perempuan yang sedang masa iddah.
Yang dimaksud masa iddah adalah waktu yang dimiliki seorang perempuan yang ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya. Sedangkan yang dilarang melamar di sini adalah melamar secara terus terang. Sementara jika memberi ‘isyarat’, diperbolehkan.
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al Baqarah (2):235)
Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan hal-hal berikut:
Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan hal-hal berikut:
a) Kesholehan
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya, hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita yang paling baik: “Wanita yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya dan harta suaminya” (Hadits shohih riwayat Imam Ahmad).
Karenanya pula dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan sebaliknya.
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata: “Sesungguhnya Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama ‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah – Ta’ala-, ["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali pezina laki-laki atau musyrik laki-laki" QS. An-Nur ayat 3]. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau bersabda, ["Jangan kamu nikahi dia"]. Diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.
b) Subur lagi penyayang,
Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:“Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu berkata, ”Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, beliau menjawab, ["tidak boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ["Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat"] HR. Abu Daud dan An-Nasa`iy.
Anas Ibnu Malik Radliallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: “Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
c) Hendaknya memilih wanita yang masih perawan.
Hal ini berdasarkan Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”, maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu?!” HR. Al-Bukhary dan Muslim.
Dari Anas Ibnu Malik Radhiallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: “Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku.”
Muttafaq Alaihi.
CONVERSATION